Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out
Exit Jangan lupa klik Like/Suka ya Sob :D biar update terus.. widget by : widget

Minggu, 04 Desember 2011

Pimpinan LTQ LPM STID M. Natsir Menghadiri Silaturrahim Tim Nasional Peningkatan Mutu TPA Se-Indonesia

Minggu, 04 Desember 2011
2 komentar


Hari Ahad 18 Shafar 1432 H/ 23 Januari 2011 Tim Nasional Peningkatan Mutu Taman Pendidikan Al-Qur’an Indonesia menggelar silaturrahim yang diselenggarakan di gedung Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa di Sleman Jogjakarta. Tim tersebut diasuh oleh seorang pakar dalam bidang Qira’at yakni Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA (Rektor IIQ Jakarta) yang namanya telah akrab terutama dikalangan para aktifis TPA/TKA dan Lembaga Tahsin Al-Qur’an dari berbagai propinsi. Drs. H.M. Mangun Budiyanto, M.Si dan Drs. H. Musthafa Kamal sebagai aktifis yang turut menggagas lahirnya Metode Iqra’ yang dilahirkan oleh Allah yarham H. As’ad Humam juga hadir dalam acara tersebut, termasuk H. Ahmad Annuri, MA dan Ujang Habibi, S.Sos.I yang hadir mewakili LTQ LPM STID Mohammad Natsir disamping ratusan peserta lainnya.

Tim Nasional Peningkatan Mutu Taman Pendidikan Al-Qur’an Indonesia ini memiliki 5 (lima) program utama yaitu:
1.   Membina dan meningkatkan mutu ustazd-ustadzah TPA/TKA melalui pelatihan, pendidikan dan penataran
2.   Mengembangkan kurikulum dan penerbitan buku-buku
3.   Mengembangkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan
4.   Membina dan mengembangkan kelembagaan
5.   Membina dan mengembangkan jaringan
Dalam pertemuan sehari itu, secara khusus diadakan Workshop Membangun Peradaban Zakat Untuk Pemberdayaan Aktifis TKA-TPA  dengan membahas program yang ketiga yakni  mengembangkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan. Oleh karena itu panitia menghadirkan beberapa lembaga zakat yang dianggap telah berhasil memberdayakan ekonomi ummat melalui dana zakat, seperti: Dompet Dhu’afa Republika, BAZDA (Badan Amil Zakat) Kabupaten Sukabumi dan Lumbung Zakat Indonesia Kabupaten Sleman Jogjakarta.
Para pemateri memberikan motifasi dan contoh-contoh berbagai gerakan penggalangan dana zakat yang nilainya sunggug dapat meningkatkan kesejahteraan ummat baik dalam segi ekonomi, pendidikan bahkan keagamaan dapat semakin baik dengan Gerakan Membangun Peradaban Zakat yang kemudian puncaknya akan menjadi Gerakan Zakat Membangun Peradaban.
Berangkat dari keprihatinan atas menurunnya kwantitas dan kwalitas TPA/TKA di Indonesia maka Tim Nasional Peningkatan Mutu TPA Indonesia ini membulatkan tekat untuk:
1.   Menggerakkan aktifis/ustadz-ustadzah TPA/TKA untuk menjadi pelopor kesadaran zakat di Indonesia
2.   Meningkatkan kemandirian TPA/TKA melalui pemberdayaan dana zakat
3.   Melaksanakan konsolidasi Nasional untuk menumbuhkan kembali kepedulian ummat atas bergulirnya TPA/TKA di seluruh Indonesia sebagai factor penting bagi terbentuknya peradaban masyarakat dan bangsa yang Qur’ani.

read more

Daerah Diminta Beri Insentif Layak Guru TPA

0 komentar
Daerah Diminta Beri Insentif Layak Guru TPA
PADANG--MICOM: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatra Barat meminta semua kepala daerah di Sumbar agar memberikan insentif yang layak kepada para guru Taman Pendidikan Al Quran (TPA) dan penyuluh agama mengingat fungsinya yang sangat penting di tengah masyarakat.

Kepala Bidang Pekapontren Kantor Wilayah Kemenag Sumbar, Haryadi Z di Padang, Minggu (27/11), menyatakan, guru TPA dan penyuluh agama sangat besar perannya terutama dalam memberikan pendidikan Al Quran dan pembentukan karakter masyarakat dan harus diberikan insentif yang lebih memadai.

Diakuinya, selama ini masing-masing daerah di Sumbar sudah mengalokasikan dana insentif para guru TPA dan penyuluh agama, namun jumlahnya masih belum memadai.

"Sebagian daerah ada yang mengalokasikan Rp300 ribu sampai Rp600 ribu per tiga bulan, ada juga yang setiap 6 bulan," katanya.

Menurut dia, nominal alokasi insentif yang diberikan oleh daerah kepada guru TPA saat ini belum memadai dibandingkan fungsi dan tugas mereka dalam membentuk karakter masyarakat dan memberikan pemahaman Al Quran.

"Kalau kita tinjau dari segi formalnya sangat besar peran guru TPA di tengah tengah masyarakat," katanya.

Menurut Hariadi, tidak efisien jika dana insentif diambilkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), mengingat APBD sebahagian besar sudah terserap untuk program lainnya, bahkan pada banyak daerah justru defisit.

Tapi kata dia, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan pemerintan daerah untuk memberikan insentif tersebut. Seperti bekerja sama dengan perusahaan dengan memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR).

"Soalnya kepala daerah itu memiliki kekuatan di daerahnya yang bisa digunakan untuk mencarikan solusi insentif tersebut," ujarnya.

Saat ini di Sumbar terdapat lebih 7.000 guru TPA yang aktif dalam pengembangan ilmu keagamaan untuk masyarakat. Selain itu, guru TPA juga memiliki peran besar dalam membentuk akhlak anak. (Ant/OL-3)

read more

Pemberdayaan Pendidikan Islam Di Indonesia

0 komentar
1. Mukadimah
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.

Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, telah merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang memakai produk lembaga pendidikan.
Proyeksi keberadaan dan kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tentu tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraannya pada masa lampau juga. Pendidikan [Islam] pada periode awal [masa Nabi saw] misalnya, tampak bahwa usaha pewarisan nilai-nilai diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar terbebas dari belenggu aqidah sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat elite Qureisy yang banyak dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental untuk mencapai status quo, yang melestarikan kekuasaan dan menindas orang-orang dari kelompok lain yang dipandang rendah derajatnya atau menentang kemauan kekuasaan mereka.
Gagasan-gagasan baru yang kemudian dibawa dalam proses pendidikan Nabi, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai keimanan baik secara individual maupun kolektif, bermaksud menghapus segala keperyaan jahiliyah yang telah ada pada saat itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi dinilai sangat berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa itu secara berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian menjadikan tauhid sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan yang dilakukan Nabi, yang aksentuasinya sangat tertuju pada penanaman nilai aqidah [ketauhidan], keberhasilan yang dicapainya memang sangat ditunjang oleh metode yang digunakannya. Pada proses pendidikan awal itu, Nabi lebih banyak menggunakan metode pendekatan personal-individual. Dalam meraih perluasan dan kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada metode pendekatan keluarga, yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat [kolektif].
Pengembangan pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah, diupayakan Nabi dengan menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam usaha Nabi dengan menggalakkan umat melalui wahyu agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal itu, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Disiplin-disiplin lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk
mencarikan guru demi kemajuan anaknya [Aziz Talbani, terjemahan A. Syafii Maarif, 1996:2].
Pada era abad ke-20 ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung melalui proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spritual dan intelektual yang melendasinya, sebagaimana yang pertama kali dibangun Nabi. Nilai-nilai tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan manusia yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan cultural yang ada, sehingga dapat mencapai cita-cita dan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia disegala aspek kehidupannya. Tetapi apa yang terjadi, kondisi pendidikan Islam pada era abad ke-20, mendapat sorotan yang tajam yang kurang menggembirakan dan dinilai menyandang “keterbelakangan” dan julukan-julukan yang lain, yang semuanya bermuara pada kelemahan yang dialaminya. Kelemahan pendidikan Islam dilihat justru terjadi pada sector utama, yaitu pada konsep, sistem, dan kurikulum, yang dianggap mulai kurang relevan dengan kemajuan peradaban umat manusia dewasa ini atau tidak mampu menyertakan disiplin-disiplin ilmu lain yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kenyataannya yang ada ini, memasukkan pendidikan Islam dalam klasifikasi yang belum dapat dikatakan telah berjalan dan memberikan hasil secara memuaskan. Hal ini mempunyai pengertian belum mampu menjawab arus perkembangan zaman yang sangat deras, seperti timbulnya aspirasi dan idealitas yang serba multi interes dan berdemensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang amat beragam, serta perkembangan teknologi yang amat pesat [Hifni Muchtar, 1992:52].
Melihat kenyataan ini, maka tak ayal lagi bahwa pendidikan Islam perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama diIndonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsaIndonesiayang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, karena: Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman posetif. Kedua, pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan, masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan kemasyarakatan [Suyata, 1992: 23].
2. Pendidikan Islam dan Masalahnya
Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi mudaya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan [Suroyo, 1991: 77].
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan diIndonesia, walaupun dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam mesupakan sub-sistem pendidikan nasional. Tetapi
predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobat” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Dalam hal ini, maka pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini memberi kesan yang tidak menggembirakan. Meskipun, kata Muchtar Buchori, tidak dapat dipandang sebagai evidensi yang kongklusif dalam penglihatannya ialah kenyataan, bahwa setiap kali ada murid-murid dari suatu lembaga pendidikan Islam yang turut serta dalam lembaga cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di TVRI, maka biasanya kelompok ini mendapatkan nilai terenda. Evidensi kedua ialah bahwa partisipasi siswa-siswi dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan nasional seperti lomba Karya Ilmiah Remaja menurut kesan saya sangat rendah, dan sepanjang pengetahuan saya belum pernah ada juara lomba ini yang berasal dari lembaga pendidikan Islam [Suroyo, 1991:77]. Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan nasional, tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan, memang terasa janggal, bahwa dalam suatu komunitas masyarakat Muslim, pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesiaselalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis religius [MuslihUsa, 1991:11]. Maka, dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan problem-problem yang demikian?
Realitas pendidikan Islam pada umumnya memang diakui mengalami kemunduran dan keterbelakangan, walaupun akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuaannya. Ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model pendidikan yang ditaarkan. Tetapi tantangan yang dihadapi tetap sangat kompleks, sehingga menuntut inovasi pendidikan Islam itu sendiri dan ini tentu merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. A. Mukti Ali, memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam dewasa ini disebabkan oleh factor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi [insight], dan kelemahan dalam hal kelembagaan [organisasi], ilmu dan teknologi. Maka dari itu, pendidikan Islam didesak untuk melakukan inovasi tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti paedagogis, sosiologis dan cultural dalam menunjukkan perannya [H.M.Arifin, 1991:3].
3. Penataan Pendidikan Islam di Indonesia
Krisis pendidikan di Indonesia, oleh H.A. Tilaar [1991] secara umum, diidentifikasi dalam empat krisis pokok, yaitu menyangkut masalah kualitas, relevansi, elitisme dan manajemen. Berbagai indicator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasanAsia. Memang disadari bahwa keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya [Sukamto, 1992].
Krisis ini terjadi pada pendidikan secara umum, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Karena itu, menurut A.Syafii Maarif, bahwa
situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar di atas. Sistem pesantren yang berkembang di nusantra dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban [A. Syafii Maarif, 1996:5]. Melihat kondisi yang dihadapi, maka penataan model pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu yang tidak terelakkan. Strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan menjadi modal dasar untuk usaha pengembangan selanjutnya. Seperti kita ketahui, bahwa lembaga-lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah, dan madrasah, masjid, pondok pesantren, dan pendidikan luar sekolah lainnya tetap dipertahankan keberadaannya.
Untuk penataan kembali pendidikan Islam, tanpaknya perlu kita menoleh sejarah perkembangan pendidikan Islam pada abad ke-9, di mana dunia Islam mulai mengenal sistem madrasah yang ternyata telah menimbulkan perubahan radikal dalam sistem pendidikan Islam. Sistem madrasah yang diorganisasikan secara formal, secara berangsur-angsur mengalahkan pusat-pusat pendidikan yang lebih liberal. Inti kurikulum madrasah terpusat pada al-Qur’an, hadis, fiqh, dan Bahasa Arab. Bentuk-bentuk pengetahuan yang tidak diperoleh di madrasah seperti filsafat, kimia, astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan dalam lingkungan yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di bawah paying disiplin lain seperti ilmu perobatan [George Makdisi, Terjemahan A. Syafii Maarif, 1996:3]. Keberadaan lembaga pendidikan Islam yang disebutkan di atas cukup variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam konfigurasi pendidikan nasional. Untuk itu fungsi pendidikan Islam dari lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan secara lebih spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab tantangan yang dihadapi.
Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat tanggungjawabnya bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasai pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.
Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual, intelektual, imajinasi, keilmiyahan; baik individu maupun kelompok, dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam [H.M. Arifin, 1987:15]. Akan tetapi pada dataran operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha melendingkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah.
Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam, terutama pada sistem pendidikan persekolahan, harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya dapat menjamah pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah. Di samping inovasi pada sisi kelembagaan, factor tenaga pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi [kurikulum] yang pendekatan metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan perbaikan manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari
fungsi dan tujuan, metode, materi [kurikulum], lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan Islam, tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung di kalangan orang dewasa. Perbaikan wawasan, sikap, pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosio-kultural dan ekonomi mereka. Pilihan sasaran berikutnya dapat ditujukan bagi pendidikan terhadap anak. Konsumsi pendidikan dan hiburan untuk kelompok ini, belum tanpak sangat berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu [Suyata, 1992:28].
Perbaikan fungsi pendidikan Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti masjid dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat muslim di suatu kesatuan territorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren, Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
Dalam hal ini, Soeroyo, menempatkan jenis lembaga pendidikan yang disebut pertama dan kedua, sebagai lembaga pendidikan Islam yang dapat mengembangkan atau memperluas sistem pendidikan non formalnya pada pelayanan pendidikan yang meliputi berbagai jenis bidang misalnya, seperti bidang pertanian, peternakan, elektronik, kesehatan, kesenian, kepramukaan, kemajuan IPTEK, pelbagai keterampilan, kesenian dan sebagainya. Sedangkan Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat, akan tetap terasa bermuara pada pandangan serta sikap Islami, dan terasa manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas masjidnya. Pondok Pesantren dan Masjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama dan para cendekiawan Muslim yang tergabung dalam Perguruan Tinggi yang ada di sekitarnya. Adapun peranan jenis pendidikan yang ketiga dan keempat, yaitu pendidikan Madrasah dan Pendidikan umum, adalah dalam upaya menemukan pembaruan dalam sistem pendidikan formal yang meliputi metode pengajaran baik agama maupun umum yang efektif. Inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, lingkungan yang mendidik, guru yang kreatif dan penuh dedikasi dan sebagainya [Soeroyo, 1991: 77-78].
Sebenarnya sudah ada lembaga pendidikan Islam yang menjadi sekolah favorit dan banyak diminati, namun secara umum aspirasi masyarakat terhadap sekolah-sekolah Islam masih rendah. Dalam banyak hal, ini kembali berkorelasi dengan ketidak berdayaan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memenuhi logika persaingan dalam memenuhi tuntutan perkembangan zaman [H.M. Arifin, 1991: 99]. Atau munculnya Madrasah Aliyah Khusus [MAK] yang dapat dikategorikan sebagai fenomena sekolah unggulan Islam, dan betul-betul merupakan asset pendidikan Islam yang turut berpartisipasi dalam dunia pendidikan dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Tetapi juga belum mendapatkan posisi yang menguntungkan dalam konfigurasi pendidikan nasional.
Pada sisi lain, muncul pula pendidikan luar sekolah bagi anak-anak muslim seperti TPA [Taman Pendidikan al-Qur’an] sebagai kekuatan pendidikan Islam baru yang muncul dengan metode dan teknik baru yang dapat menghasilkan output yang mampu membaca al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Dapat kita saksikan produk TPA dengan bangga diwisuda oleh seorang Menteri bahkan tidak tanggung-
tanggung oleh Presiden. Tetapi sampai saat ini belum terpikirkan tindak lanjut dari usaha pendidikan ini, karena setelah wisuda selesailah usaha pendidikan tersebut.
Kepincangan-kepincangan pendidikan Islam yang dikemukakan di atas, semestinya tidak kita bicarakan berlarut-larut. Tetapi kita harus berusaha untuk mengoreksi secara cermat program-program pendidikan yang sedang dijalankan, sehingga pemisah antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum dalam konfigurasi pendidikan nasional dapat diatasi. Tujuan dan fungsi pendidikan Islam, metode, materi [kurikulum] harus dikoreksi dan direvisi secara berani dan membenahi keorganisasiannya [kelembagaan], sehingga menarik minat manusia didik tanpa mengurangi prinsip-prinsip ajaran dari sumber pokok Islam. Dengan demikian, pendidikan Islam akan kembali solid dalam memberdayakan umat Islam di Indonesia yang sedang menuju pada masyarakat industrial dengan berbagai tantangan etos kerja, profesionalisme, dan moralitas. Bagaimapun juga kedekatan dengan kebenaran, dan al-Khaliq yang dimiliki oleh ruh dan nafas pendidikan Islam, keunggulannya harus tetap diraih dengan usaha. Atau, kita akan menerima kemarahan Allah karena “membengkalaikan” pendidikan Islam, yang dinilai oleh para ahli sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang dapat menghidupkan keseimbangan perkembangan dalam setiap dari manusia.***

read more

Tabungan Pendidikan Anak ( TPA )

0 komentar
TPA Adalah Tabungan Pendidikan Anak yang diwajibkan kepada seluruh warga negara dengan nilai Rp. 5.000,-/umat setiap bulan untuk memperlancar proses pendidikan. Dengan membayar TPA berarti telah turut serta mensukseskan Program Negara dalam mencetak dan mempersiapkan kader-kader penerus bangsa yang ber-IPTEK dan ber-IMTAQ.
2/265 : Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
Cara pengkawalan :
· Berikan pemahaman kepada umat tentang TPA
· Beritahukan tentang target SAKSIYAH
Standar TPA dari negara saat ini min Rp. 5.000,- /bulan
· Berikan target dan batas tarikh penyetoran, agar memotivasi mereka untuk mengetahui jumlah target diri mereka yang belum disetorkan
· Bekerja sama dengan kader untuk melakukan pengontrolan agar diperoleh hasil yang maksimal.

read more

Belajar Ilmu Allah di TPA Nurul Qur’an

0 komentar
Sore ini, Kamis 26 Pebruari 2009 saya menyempatkan diri untuk mengunjungi TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). TPA ini kami beri nama TPA Nurul Qur’an yang artinya Cahaya Al’Quran. Tempat anak-anak menimba ilmu Allah. Tempat dimana anak-anak dididik untuk lebih mengenal ARI.
Apakah ARI itu? ARI itu adalah Allah sebagai Tuhan kita, Rasulullah Muhammad SAW sebagai nabi kita, dan Islam sebagai agama yang mulia.
Belajar ilmu Allah di TPA Nurul Qur’an terasa sungguh sangat menyenangkan. Terlihat sekali anak-anak yang masih polos dan lugu. Mereka adalah anak-anak yang baik. Anak-anak yang belum memahami kejamnya dunia. Anak-anak yang hidupnya selalu bermain sambil belajar. Belajar sambil bermain. Tak terlihat keletihan di wajah mereka, dan sangat terlihat sekali keceriaan di wajah-wajah mungil mereka. Kecerian asli yang tak dibuat-buat seperti orang dewasa.
Alangkah indahnya dunia, bila kita orang dewasa seperti bocah-bocah kecil ini. Lucu dan mengundang kita untuk tersenyum memandangnya. Wajah suci yang belum terkontaminasi oleh dosa. Lihatlah mereka belajar ilmu Allah di TPA Nurul Qur’an ini. Penuh semangat belajar dalam suasana menyenangkan.
Namun, Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. TPA ini sedang mengalami kesulitan dalam pengelolaan dana. Saya ingin mengetuk hati dan mengajak anda untuk menjadi donatur di TPA ini. Menjadi orang tua asuh agar TPA Nurul Qur’an dapat bertahan. Bertahan dari amukan ekonomi yang demikian besar menghantam TPA ini. Mengajak anda semua untuk tidak omong doang dan melakukan tindakan (action) agar TPA yang bertujuan mulia ini dapat berjalan dengan apa yang diharapkan. Bukan hanya mereka lebih mengenal ARI, tapi juga mereka dapat mengetahui TIA.
Apakah TIA itu? Tia itu adalah Tauhid, Ibadah, dan Akhlaq.
Di TPA Nurul Qur’an ini kami mengajarkan mereka Tauhid yang benar, menjalankan Ibadah yang benar, dan mengajarkan Akhlaq seperti yang telah dicontohkan oleh rasulullah Muhammad SAW, dengan sifat mulianya. Sifat yang membawa anak-anak kita kelak memiliki akhlaqul karimah. Sifat apakah itu?
Sifat itu adalah STAF. Siddiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah. Siddiq adalah selalu berkata benar, Tabligh artinya selalu menyampaikan kebenaran, Amanah adalah orang yang selalu bertanggungjawab bila diberikan tugas atau dapat dipercaya. Bekerja dengan keras, cerdas, ikhlas, dan tuntas. Sedangkan Fathonah adalah cerdas dalam berpikir dan bijak dalam bertindak. Itulah sifat mulia Rasulullah yang kami ajarkan dalam TPA Nurul Qur’an ini.
Akhir-akhir ini kami merasakan kesulitan dalam pencarian donator tetap. Operasional TPA ini yang membengkak membuat kami melakukan penghematan pengeluaran. Gaji para guru ngaji yang kecil itu, terkadang belum terbayarkan sampai bulan berikutnya. Tak terdengar keluh kesah dari mereka. Karena kami mempunyai falsafah hidup ”tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah”.
Mereka adalah para pejuang muda yang bersedia mengorbankan dirinya di jalan Allah. Berjihad di jalan Allah dengan penuh keyakinan kalau Allah pasti menolong mereka. Sungguh sebuah perjuangan yang patut diberikan dua jempol. Pada saat orang-orang berebut untuk meraih jabatan dan kekuasaan, masih ada beberapa orang anak muda yang gigih membela agamanya dan memelihara ilmu Allah. Mereka tak ingin ilmu Allah ini bersembunyi di balik lemari. Mereka tak ingin Al’Quran hanya menjadi hiasan indah di rumah-rumah mewah tanpa pernah dibuka dan diamalkan isinya. Mereka adalah pahlawan modern abad ini yang harus mendapatkan perhatian serius dari kita yang memiliki kelapangan rezeki.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah: 261).
Bila anda membaca tulisan ini, dan tersentuh untuk berbagi, silahkan berkirim email ke wijayalabs@gmail.com. Atau telepon langsung ke 021-8470175.
Besar kecilnya bantuan anda akan menjadi penyemangat kami dalam berdakwah dan mempelajari ilmu Allah di TPA Nurul Qur’an ini. Mari saatnya kita berbagi rezeki di TPA Nurul Qur’an yang kita cintai ini.


Belajar ilmu Allah di TPA Nurul Qur'an
Belajar ilmu Allah di TPA Nurul Qur’an


Siswa asyik menulis di dampingi oleh guru TPA
Siswa asyik menulis di dampingi oleh guru TPA

read more

Peran pendidikan non formal

0 komentar
Indonesia adalah salah satu negara  dengan jumlah penduduk tertinggi. Jumlah penduduk yang begitu besar tentunya muncul berbagai permasalahan kependudukan yang cukup serius, misalnya penyebaran penduduk yang tidak merata (contoh pulau Jawa yang lusanya hanya 5 % dari luas wilayah Indonesia ditempati penduduk lebih dari 60 % dari jumlah penduduk Indonesia) yang terkonsentrasi di perkotaan., akibatnya banyaknya pengangguran , pendidikan rendah dan masalah-masalah social yang lain.
Penduduk buta aksara usia 15 tahun keatas menurut data Depdiknas tahun 2008  berjumlah 9.763.256 orang. Kurang lebihnya 64 % adalah perempuan.  Dari jumlah tersebut sebagian besar tinggal di pedesaan. Pengangguran (data BPS menyebutkan pada bulan Pebruari  tahun 2006  menunjukan angka pengganguran terbuka cukup tinggi setidaknya ada 10.4 % atau sebesar 11.1 jiwa.  Belum lagi permasalahan kemiskinan,  angka kemiskinan di Negara kita juga masih cukup tinggi. Kondisi tersebut berdampak secara signifikan terhadap upaya mencari kerja dengan cara bermigrasi baik itu keluar daerah maupun keluar negeri. Menurut laporan ILO 81 juta orang bermigrasi dan 22 juta diantaranya bekerja di Asia dan setengahnya adalah perempuan. Tahun 2002 Depatermen Tenaga kerja dan Transmigrasi mencatat 76 % tenaga kerja Indonesia ( TKI) legal adalah perempuan dan bekerja disektor yang sangat buruk yaitu pembantu rumah tangga dan karyawan hiburan malam (untuk tidak menyebut sebagai pekerja seks.) Begitu tingginya permintaan tenaga kerja di negara tujuan, membuat banyak TKI illegal (berangkat dengan jalur tidak resmi) yang  di ‘koordinir’ oleh para tekong (calo).
Dari jumlah masyarakat yang melakukan migrasi ke daerah atau negara lain, mempunyai kerentanan yang sangat tinggi untuk menjadi korban eksploitasi manusia, salah satunya adalah trafiking (perdagangan manusia), yaitu salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir (melibatkan sendikat/jaringan) dan masuk peringkat kedua kejahatan terorganisir tingkat dunia setelah perdagangan senjata illegal, baru kemudian sendikat perdagangan narkoba dan obat-obat terlarang.
Pelaku kejahatan  mengambil keuntungan yang sangat besar dari praktek tersebut, bahkan ada istilah yang lebih tepat dari praktek trafiking, yaitu perbudakan modern yang melanggar HAM.
Korban direkrut dari tempat tinggalnya oleh perekrut yang dikenal sebagai calo atau “sponsor” kemudian dibawa dan  ditampung ditempat transit  yang dijaga ketat, korban dilarang keluar dari tempat penampungan, tidak dipenuhi kebutuhan dasarnya secara baik, bahkan seringkali mendapatkan siksaan kalau tidak mengikuti perintah pengelola, baru kemudian dikirim ke tempat kerja atau daerah tujuan (dipekerjakan sesuai pesanan).  Didalam kejahatan trafiking dikenal ada 3 wilayah yaitu wilayah pengirim, transit dan penerima.
Korban mendapatkan lebih banyak eksploitasi misalnya bekerja tanpa istirahat yang cukup, tidak mendapatkan gaji atau bentuk eksploitasi lainnya . Untuk memahami bahwa seseorang telah menjadi korban trafiking atau tidak, bisa dilihat dari 3 unsur, yaitu
Proses : perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, dan penerimaan.
Cara yang umum dipakai adalah  : ancaman, penculikan, bujukrayu, penipuan, kekerasan, pemaksaan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan.
Adapun tujuan dari trafficking adalah untuk prostitusi, pornografi dan pornoaksi, ekploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, pengemisan, pengantin pesanan, jualbeli organ tubuh, kurir narkoba, Pembantu rumah tangga, dll
Untuk kasus korban anak-anak ( individu yang berusia dibawah 18 tahun) unsur kesepakatan atau persetujuan tidak berlaku.  Tidak harus semua bagian dari unsur terpenuhi, salah satu bagian dari setiap unsur  sudah bisa dikatakan sebagai tindak kejahatan trafiking.
Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban karena kondisi fisik dan sosial budayanya. Apalagi yang mempunyai kerentanan dari aspek ekonomi, harmonisasi hubungan dalam keluarga, pendidikan rendah, akses informasi yang terbatas, kebutuhan akan pekerjaan. Untuk beberapa korban trafiking dengan tujuan Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA)  ada mitos terkait dengan usia, kecantikan, etnik dan lainnya yang oleh sebagian orang (lelaki) sangat dipercaya..
D Indonesia ada beberapa wilayah yang terindikasi sebagai wilayah pengirim (sending area) antara lain ; Jawa barat, Jawa Timur, Jawa Tengah  NTB, NTT, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat , Sumatra Utara .  Kemudian wilayah transit diantara nya adalah kota Surabaya, Jakarta, Tanjungpinang, Batam, Nunukan, dan beberapa kota besar lainnya.
Berdasarkan hasil analisis dan kajian dari setiap kasus trafiking yang ditangani, ada beberapa factor yang menyebabkan seseorang rentan dan kemudian menjadi korban trafiking. Faktor yang membuat seseorang menjadi rentan untuk ditrafik adalah : perempuan atau anak  yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, orang yang mengalami krisis ekonomi karena kehilangan pendapatan, orang yang kehilangan anggota keluarganya sebagai penopang hidup dan mimpi mendapatkan gaji tinggi (cepat kaya) dari bekerja diluar daerah tanpa menyadari keterbatasan dari tingkat pendidikan maupun ketrampilan yang di miliki.
Sedangkan factor penyebab terjadinya trafiking di Indonesia ( bersifat pendorong) adalah :
  • Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah
  • Terbatasnya lapangan pekerjaan yang menyebabkan banyak pengangguran
  • Kemiskinan, menurut data BPS 40 juta dari 210 juta pendudukan Indonesia berada pada garis kemiskinan
  • Kurangnya akses informasi yang jelas tentang bekerja keluar daerah/negeri
  • Terlalu percaya kepada orang lain /agen
  • Praktek social dan budaya marginalisasi, subordinasi  khususnya pada perempuan dan anak sebagai sebuah fenomena ketidakadilan gender
Sedangkan penyebab trafiking yang bersifat penarik adalah :
  • Kebutuhan akan tenaga kerja yang cukup besar diluar negeri tanpa menuntut pendidikan tinggi
  • Kesenjangan antara fasilitas kota dan desa
  • Iming-iming gaji tinggi
  • Kebutuhan akan pelayanan seks
  • Kebijakan imigrasi yang ketat.
Untuk memecahkan persoalan trafiking, bukanlah perkara mudah. Akar permasalahan harus teridentifikasi secara tepat, sehingga solusi yang digunakan bisa menjawab permasalahan yang ada. Salah satu sudut pandang penyebab seseorang mempunyai kerentanan tinggi untuk menjadi korban trafiking adalah rendahnya tingkat pendidikan. Pendidikan menjadi akar permasalahan yang kemudian juga bisa menjadi alternatif solusi untuk pencegahan agar anak dan perempuan tidak selalu menjadi korban trafiking.
Berdasarkan angka kasus yang sudah terjadi, dampak yang muncul  dan kerentanan yang ada pada masyarakat , sesungguhnya trafiking  manusia merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah besar dalam menjawab tantangan tersebut. Salah satunya adalah mengeluarkan Undang-Undang no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kemudian dari UU tersebut dijabarkan dalam Perpres 69 tahun 2008, yang secara detail mengatur tentang pelaksanaan UU. Diantaranya adalah terbentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan trafiking mulai dari tingkat Pusat sampai kabupaten-kota, disertakan dengan rencana aksi mulai dari tingkat Nasional sampai  Kabupaten/Kota.
Dalam Perpres itu, disebutkan bahwa untuk berbagai upaya pencegahan trafiking bisa dilakukan oleh multistakeholder dengan dikoordinasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional . Hal ini menunjukan bahwa peran institusi pendidikan, khususnya pendidikan nonformal dalam memerangi trafiking  sangatlah strategis.  Berdasarkan kasus dan kebutuhan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan dan anak agar tidak rentan  menjadi korban trafiking, ada beberapa peran yang bisa dilakukan lembaga pendidikan luar sekolah antara lain sebagai berikut :
1) Pendidikan kecakapan hidup (life skill)
Pendidikan non formal sebagai institusi yang relative fleksibel dalam menyelenggarakan pendidikan, diharapkan dapat menjadi alternative untuk  dapat memberikan bekal ketrampilan hidup ( life skill) bagi kelompok masyarakat khususnya perempuan dan anak yang tidak mempunyai kemampuan dengan berbagai alasan  mengakses lembaga pendidikan formal. Karena pada umumnya korban selalu tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis terhadap situasi yang sesungguhnya membahayakan dirinya. Kemiskinan yang terjadi juga karena tidak dimiliki atau rendahnya ketrampilan hidup dalam mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya. Keinginan bekerja keluar daerah/negeri, mengikuti orang lain, dengan iming-iming gaji besar, selalu menjadi kesempatan bagi para trafiker untuk merekrut korban. Dengan berbekal kecapakan hidup, seseorang tidak mudah ditipu. Life skill efektif bukan hanya untuk mencegah agar seseorang tidak menjadi korban, tetapi juga bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan agar korban trafiking mampu menjadi surviver dan mandiri sehingga tidak akan  menjadi korban kembali. Tentunya pada penyelenggaraan pendidikan life skill ini juga harus disesuaikan dengan potensi diri dan lingkungan dari peserta belajar, terutama kelompok yang rentan menjadi korban trafiking.  Misalnya  dengan kecakapan hidup seseorang mempunyai kemampuan untuk menganalisa ketika ditawari pekerjaan dengan ketrampilan terbatas tapi gaji besar, waspada dengan orang yang tidak pernah dikenal tetapi berpura-pura memberikan pertolongan.
2) Pendidikan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga dan lembaga penyelenggara pendidikan luar sekolah
Kerentanan  anak dan perempuan menjadi korban trafiking juga disebabkan oleh pemahaman relasi gender yang masih timpang baik dikeluarga maupun masyarakat. Misalnya beberapa anggapan bahwa anak perempuan adalah “komoditas” yang bisa menghasilkan ‘uang’ baik itu oleh keluarga maupun pihak-pihak yang mengekploitasi/trafiker. Perempuan tidak akan berani melawan ketika diperlakukan tidak adil, dieksploitasi baik fisik, psikis maupun seksualitasnya.  Oleh karena itu penting sekali dikembangkan satu model pendidikan keadilan dan kesetaraan gender mulai anak usia dini (PAUD), baik di lembaga keluarga maupun lembaga pendidikan dimana anak-anak mulai belajar. Kurikulumnya dirancang sedemikian rupa, menjadi muatan local atau menjadi bahan ajar tambahan. Materi  dan media pembelajaran yang selama ini masih  bias gender harus dirombak. Berdasarkan hasil kajian ternyata ketidakadilan gender yang kemudian berdampak terhadap berbagai kerentanan perempuan dan anak juga merupakan hasil konstruksi social lembaga pendidikan, baik itu formal, nonformal maupun informal. Pola asuh keluarga yang responsive gender harus dimulai dari para orangtuanya, kesadaran gender orang tua, guru/tenaga pendidikan sangat menentukan terhadap sikap perilaku anak. Yang juga penting untuk menjadi catatan bahwa pendidikan gender bukan hanya diperuntukan bagi perempuan, tetapi akan lebih tepat kalau itu juga diberikan kepada para laki-laki.
3. Pendidikan ketrampilan, keaksaraan   dan  kesetaraan
Salah satu factor yang menyebabkan sesorang mudah menjadi korban perdagangan orang, adalah karena terbatasnya ketrampilan, pada umumnya korban hanya mempunyai ketrampilan terbatas, misalnya sebagai pembantu rumah tangga, bahkan seringkali mereka itu dibahasakan “unsklill” karena pendidikan formalnya hanya SD, tidak lulus SD, dan bahkan ada yang tidak pernah sama sekali/buta huruf,  maka tidak ada bekal ketrampilan yang dimiliki untuk bisa menjadi pekerja yang professional. Bagi trafiker mereka inilah yang menjadi sasaran empuk, dengan iming-iming gaji besar walaupun tidak mempunyai ketrampilan apapun, mereka tergiur untuk mengikuti bujuk rayu atau tipuan yang dilakukan para pelaku kejahatan perdagangan orang yang akhirnya terekploitasi.  Kurikulum dalam pendidikan ketrampilan, keaksaraan maupun pendidikan kesetaraan dirancang dengan muatan materi bagaimana agar seseorang (khususnya perempuan dan anak) mempunyai kemampuan untuk terhindar dari kejahatan trafiking. Sekalipun perempuan tidak mempunyai ijasah dengan jenjang pendidikan cukup, akan tetapi kalau mereka bisa mendapatkan pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan dan pendidikan ketrampilan secara baik maka ketika bekerja diperusahaan atau tempat lain akan mempunyai posisi tawar yang lebih baik dan kepekaan terhadap realitas yang sekiranya membahayakan atau tidak menguntungkan dirinya. Pendidikan ketrampilan dan pendidikan kesetaraan ini bisa diakses oleh perempuan dan anak yang rentan ( biasanya dari keluarga dengan kemampuan ekonomi terbatas) maupun anak-anak dan perempuan yang pernah menjadi korban. Banyak anak-anak yang masih pada usia sekolah kemudian menjadi korban, dan setelah tertolong (melalui prores rehabilitasi dan reintegrasi) tidak mudah juga untuk bisa kembali ke lembaga pendidikan formal, banyak pernasalahan yang harus dihadapi, antara lain yang paling berat adalah soal stigma negative, apalagi kalau korbannya sampai terekploitasi secara seksual, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dll. Yang paling mungkin bisa menerima mereka pada kondisi seperti itu adalah lembaga pendidikan non formal, baik itu yang menyediakan layanan vokasional maupun pendidikan kesetaraan  sesuai pendidikan terakhirnya, termasuk juga kalau memang perempuan tersebut buta huruf bisa mendapatkan layanan keaksaraan fungsional.  Walaupun tidak semua korban trafiking adalah mereka yang buta huruf , bahkan ada juga yang mempunyai pendidikan tinggipun juga menjadi korban trafiking.
4. Penataan  pendidikan para profesi/kursus para profesi
Persoalan trafiking selama ini juga dirasakan sering berkaitan dengan soal rekrutmen TKI/buruh migran(walaupun tidak semua korban trafiking adalah buruh migran) yang dilakukan oleh PPTKIS dan kemudian dilatih /”ditampung” di BLKLN. Banyak BLKLN yang kemudian berjudul dengan nama “Kursus Para Profesi”  ( KPP) institusi ini berada dibawah payung pendidikan luar sekolah tentunya. Untuk mencetak para TKI yang  berkualitas penataan kurikulum BLKLN atau KPP memang menjadi sangat penting, agar keluaran dari KPP tidak menjadi sasaran empuk dari mafia atau sendikat perdagangan orang dengan berbagai modusnya. Pembekalan yang baik, tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mengekploitasi orang-orang yang kurang beruntung  adalah suatu nilai yang harus diintervensikan secara kuat oleh penyelenggara lembaga pendidikan luar sekolah yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan KPP.  Tidak semua KPP nakal, tetapi beberapa kasus dengan modul trafiking teridentifikasi mulai dari proses perekrutan dan penampungan yang notabene nya banyak dilakukan oleh PPTKIS atau KPP.
5. Menyelenggarakan bimbingan  belajar dan kreativitas anak dan perempuan  disanggar belajar  atau PKBM
Kecenderungan anak-anak yang menjadi korban trafiking adalah anak-anak yang Drop Out sekolah dengan berbagai alasan, apakah karena biaya, tidak tertarik dengan sistem belajar di sekolah formal, materi yang terlalu berat sehingga anak tidak bisa mengikuti  dan lain lain sebab. Sehingga salah satu yang juga bisa dilakukan oleh penyelenggara PLS, adalah bagaimana memfasilitasi anak-anak diluar sistem pendidikan formal agar mereka tetap bisa bertahan dilembaga pendidikan formal ataupun kalau terpaksa sudah DO ada tempat dimana mereka bisa belajar misalnya di sanggar belajar. Akan sangat bagus kalau disetiap desa ada sanggar belajar untuk anak-anak, mereka bisa memanfaatkan untuk bimbingan belajar, belajar seni, olahraga, ketrampilan (yang berkaitan dengan bakan minat dan krativitasnya) sehingga anak-anak tetap senang belajar dan tidak DO sekolah formal. Terutama untuk anak perempuan, kalau  tidak sekolah  pasti yang dipikirkan adalah kerja, tanpa bekal ketrampilan maupun pendidikan yang cukup. Kelompok inilah yang paling mempunyai kerentanaan menjai korban trafiking apalagi kalau ekonominya termasuk dalam kategori miskin.
Inilah beberapa peran yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan nonformal dan informal untuk bisa mendukung dalam pencegahan dan penanganan penghapusan tindak pidana perdagangan orang. Pesan-pesan tentang trafiking hendaknya disisipkan ke dalam materi yang telah ada, sehingga tidak ’merusak’ kurikulum pembelajaran di masing-masing  lembaga penyelenggara pendidikan nonformal atau jika memungkinkan materi trafiking dan kesetaraan gender bisa dijadikan materi tersendiri untuk membekali calon-calon tenaga kerja agar terhindar dari pelanggaran Hak Azasi Manusia (trafiking, pelecehan seksual, penipuan.)
Memang tidak mudah untuk menghapus persoalan perdagangan orang, akan tetapi dengan upaya yang di lakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, minimal bisa mengurangi jatuhnya korban perdagangan orang.

read more

Sabtu, 03 Desember 2011

Manfaat TPA Bagi Orang Tua

Sabtu, 03 Desember 2011
0 komentar
Keberadaan Tempat Pendidikan Anak (TPA) sangat dirasakan manfaatnya bagi orang tua. Apalagi bagi orang tua yang keduanya sama-sama bekerja. Enny Ardyastuti, seorang PNS yang menitipkan anaknya, menyatakan hal itu di Pontianak.
Ia biasa menitipkan anaknya di TPA LKIA di Jalan Ayani. Menurutnya, menitipkan anak di TPA, sangat dirasakan manfaatnya. TPA berfungsi sebagai tempat penitipan anak, bisa memberikan rasa ketenangan dalam melaksanakan tugasnya. Juga, punya andil cukup besar, dalam meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak.
Alasannya, selama 6-7 jam, setiap harinya diasuh di TPA, bisa tercipta sumber daya manusia berkualitas. Anak dapat bersosialisasi dengan baik. Banyak teman dan lebih mandiri.
"Mudah-mudahan TPA LKIA dapat mempertahankan kualitas pelayanan dan meningkatkan mutu pendidikan," kata Enny Ardyastuti.
Hartati Soedarso, pemilik TPA LKIA menuturkan kisah berdirinya tempat tersebut. Berdiri tempat itu pada 1964. Awalnya, beberapa orang tua mengharapkan adanya suatu tempat penitipan anak-anak balita, selama mereka bekerja. Berhubung mereka belum punya tempat penampungan, untuk sementara anak-anak diasuh di rumah yang kebetulan ada ruangan kosong.
Ketika Mensos RI, Rusia Sardjono mantan Mensos Bung Karno mengunjungi Pontianak. Pada saat itu, ia ke TPA yang masih sangat sederhana, di rumah yang masih dijadikan tempat penitipan tersebut. Timbul pemikiran dari pengurus LKIA, mendirikan suatu tempat, di mana anak-anak bisa mendapatkan pengasuhan, selama orang tua bekerja.
Bantuan diterima dari Walikota Pontianak, A. Muis Amin, yang menjadi walikota pada 1957-1967. Pada saat itu, sebidang tanah seluas 40 x 80 meter persegi dengan sertifikat No. 26 tahun 1966. Luas bangunan 14 x 20 meter persegi. Biaya pembangunan pada saat itu, sebesar Rp 1.500.000. "Dana diperoleh dari masyarakat. Lokasi itu, dulunya bernama Gang Sentiong. Sekarang bernama Jalan Ahmad Yani," kata Hartati.
Dasar pemikiran yang melandasi pendirian TPA LKIA adalah, bagi orang tua yang masing-masing bekerja, sangat memerlukan sebuah Tempat Penitipan Anak. Selama  bekerja, sedangkan di rumah tidak punya pengasuh. Di TPA bisa mendapatkan pengasuhan dan pengawasan kesehatan. Orang tua lebih tenang dalam melaksanakan dan meningkatkan efesiensi kerja di tempat tugas masing-masing. Adanya program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) TPA, merupakan tepat yang cocok untuk meningkatkan pola asuh.
Bertepatan dengan HUT TPA LKIA ke 45, salah satu keluarga yang pernah menitipkan anaknya, memaparkan betapa pentingnya TPA bagi mereka. Sri Kusyanto dan Enny Ardyastuti, mereka berdua bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang telah menitipkan 4 orang anaknya pada TPA LKIA.
Alasan mengapa mereka menitipkan anaknya, karena suami dan istri bekerja sebagai PNS, yang bekerja 07.00-14.00 Wib. Setiap harinya dapat menitipkan anak, sehingga orang tua dapat melaksanakan pekerjaan kantor dengan tenang. Sebagai ibu, walaupun bekerja tetap, dapat meluangkan waktunya memberikan ASI pada jam-jam tertentu, selama anak dititipkan.
"Kami lebih percaya menitipkan anak kami pada LKIA, walaupun di rumah ada pembantu," kata Enny.
Alasannya, faktor keamanan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak lebih terjamin. Selain itu, dapat dipantau dengan baik. Pengasuhnya sudah lebih terampil dan berpengalaman. Penitipan juga memberikan pendidikan kepada anak, bagaimana bersosialisasi dengan tersedianya alat permainan edukatif.

read more

Sebuah upaya pemberdayaan TPA [Taman Pendidikan Al Qur'an]

0 komentar
Dalam sebuah kunjungan ke sebuah pesantren tahfizh untuk anak-anak di Indonesia, seorang dosen Universitas Islam Madinah menangis. Ia tidak tega melihat anak-anak usia 6-12 tahun yang harus berpisah dan tinggal jauh dari kedua orangtuanya. Menurut teori pendidikan yang ia pelajari, anak-anak seusia mereka semestinya tidak dipisahkan dari kasih sayang ayah ibunda mereka.

Ini Indonesia, Syaikh!
Ya, Indonesia memang tidak sama dengan Saudi Arabia. Kesibukan orang tua, dan terlebih lingkungan yang demikian memprihatinkan telah mendesak para orang tua untuk memasukkan putra-putri mereka ke pesantren, bahkan sejak masih kanak-kanak. Hal itu menjadi salah satu pilihan yang paling masuk akal jika ingin anak-anak mereka selamat dari dampak buruk globalisasi. Inilah udzur mereka jika memang benar mereka menyelisihi kaidah pendidikan anak.
Di Saudi, dengan mudah kita bisa mendapatkan anak-anak yang berjamaah shalat Asar di masjid kampung, kemudian menghafal al-Quran sambil duduk melingkar dengan bimbingan ustadz mereka. Sesekali, -dasar anak-anak- mereka terlihat saling bercanda. Menyejukkan sekali pemandangan seperti ini. Setelah itu mereka pulang ke rumah dan berinteraksi dengan orang tua dan lingkungan mereka. Alami sekali! Lingkungan yang relatif masih aman, ditambah adanya halaqah-halaqah tahfizh di masjid-masjid kampung seperti ini dirasa cukup, sehingga tidak ada dorongan untuk menyekolahkan anak di sekolah berasrama. Karenanya jarang sekali kita temukan sekolah berasrama di sana, apalagi untuk anak usia SD.

Potensi besar, tapi sayang….
Berbicara mengenai potensi madrasah sore, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Hampir setiap kampung memiliki Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ). TPA/TPQ ini laksana benteng yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Di sebagian daerah, bahkan TPA/TPQ ini dikelola dengan sangat profesional. Hanya saja, ilmu yang diajarkan di dalamnya masih banyak yang perlu dikoreksi. Porsi BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) sangat besar. Waktu belajar yang hanya 1-2 jam menjadi jauh dari efisien. Materi cerita acap kali disusupi cerita-cerita fiksi yang tidak banyak kita rasakan manfaatnya. Adapun menyanyi, fahaddits wala haraj (kritiklah sesuka hati), apalagi kalau dilakukan di masjid. Anak-anak yang sudah seharian bermain harus bermain lagi di TPA. Dalam beberapa kasus yang ditemui, anak-anak tampak terampil dalam banyak hal kecuali mengaji.

Merubah paradigma TPA.
Di kalangan masyarakat pecinta sunnah, konsep madrasah seperti ini mulai dirubah. Anak didik lebih diarahkan pada pengembangan potensi yang sesuai dengan usia mereka, tanpa mengabaikan rambu-rambu syariat.. Daya hafal yang sedang begitu kuatnya diberikan porsinya yang sesuai. Kemampuan belajar baca tulis juga diasah. Bermain boleh, tapi seperlunya, toh di rumah akan banyak main lagi.
Sebuah TK di Solo, rata-rata tamatannya hafal juz 'Amma dan lancar baca tulis. Tamatannya kesulitan mencari SD yang pas menampung mereka jika terpaksa meneruskan SD di tempat lain. Di Yogya, bahkan ada TK yang rata-rata tamatannya hafal 2 juz al-Quran. Tentu membuat minder mereka yang ketika tamat pesantren belum lancar hafalan juz 'Amma.
Pendidikan yang Islami ternyata tidak hanya membuat anak didik unggul dalam bidang agama. Karena anugerah Allah, dengan fasilitas dan biaya tidak seberapa, sebuah SD di Yogya pernah meraih peringkat 1 nilai rata-rata Ujian Nasional se-Indonesia.
Beberapa contoh di atas menambah keyakinan kita bahwa pendidikan berbasis sunnah tidak bisa di tawar lagi. Hanya saja, perubahan paradigma madrasah seperti di atas masih sangat sedikit. Cakupannya masih terbatas pada TKIT atau SDIT yang menerapkan belajar sehari penuh (full day school). Masih banyak sekali lapisan yang belum tersentuh perbaikan.
Kendalanya, meskipun banyak sekolah terpadu yang menawarkan harga sangat murah, harga tersebut masih dinilai mahal oleh sebagian besar umat Islam di negeri kita. Di samping itu, daya tampung sekolah dan jarak yang lumayan jauh ikut berpengaruh.
Karenanya, pembenahan dan pemberdayaan TPA - yang sudah begitu memasyarakat sampai ke desa-desa terpencil - sangat dibutuhkan. Salah satu yang layak kita coba adalah menitikberatkan hafalan Al-Quran pada kurikulum TPA, sebagaimana dilakukan di negara-negara yang memiliki tradisi ilmiah kuat. Madrasah sore di negara-negara dengan tradisi ilmu agama kuat berwujud halaqah-halaqah tahfizh yang dari masa ke masa telah terbukti mencetak banyak sekali penghafal al-Quran, dan banyak dari mereka yang menyelesaikan hafalan pada usia yang sangat belia. Padahal, halaqah-halaqah ini hanya madrasah sore sekelas TPA, bukan pesantren. Membandingkan hal ini dengan output TPA yang ada, rasanya tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa yang terjadi adalah satu bentuk pendangkalan agama dan penurunan kualitas. Jika ada anak kecil yang memiliki banyak hafalan Al-Quran di negeri kita, hampir bisa dipastikan bahwa ia bukanlah produk TPA yang 'umum'.

Proyek dakwah strategis.
Masing-masing dari kita bisa memulai perbaikan ini, dengan mempelajari dari dekat sistim dan kurikulum pengajaran Al-Quran di TK-TK pelopor, dengan kelebihan dan kekurangannya, kemudian menerapkannya di TPA yang ada di kampung masing-masing. Insyaallah itu akan menjadi benih unggul. Ketika hasil pendidikan mulai nampak pada anak didik, maka para orang tua akan semakin senang. Yang lain juga insyaallah akan berlomba mencari 'Taman Penghafalan Al-Quran' dan meninggalkan TPA model lama. Kecenderungan ini bahkan sudah terlihat di masyarakat. Para orang tua rela capek dan membayar mahal asal anaknya bisa belajar di TPA yang lebih serius meski jauh, daripada membiarkan anaknya 'main-main' di TPA yang dekat. Orang tua yang baik mendambakan anak yang saleh dan hafal al-Quran, bukan anak yang pintar menyanyi.
Jika demikian. otomatis TPA model lama akan memperbaiki diri. Barangkali pengurusnya akan mengundang anda untuk menebar hidayah di sana, atau mereka studi banding ke TPA anda, atau diam-diam menjiplak sistim pendidikan TPA anda yang tidak perlu diproteksi dengan hak paten. Apapun yang terjadi, segala puji bagi Allah yang dengan izinNya amal saleh terlaksana. Yang penting TPA-TPA kita bersih dari pelanggaran syariah dan diridhai Allah serta menghasilkan buahnya yang manis. Syukur kalau ke depan ada di antara kita yang bisa menyusun kurikulum yang bisa dijadikan acuan TPA-TPA dengan paradigma baru ini, sebagaimana kurikulum Team Tadarus AMM Yogyakarta saat ini di pakai sedemikian luas.
Jika lembaga pendidikan agama paling mengakar ini menjadi lebih baik, insyaallah kita bisa menatap optimis masa depan Indonesia. Kesadaran orang tua akan pendidikan agama akan semakin tinggi karena melihat putra-putri mereka tidak hanya bakat dalam sains, tapi juga bakat menghafal al-Quran. Bukan hanya anak badung dan berkemampuan pas-pasan yang mereka arahkan untuk mendalami ilmu agama. Lahirnya ulama-ulama pembaharu dari rahim ibu pertiwi rasanya begitu dekat. Perubahan yang dicita juga lambat laun akan merambah ke dimensi kehidupan yang lain, karena ridha Allah yang kita kejar. Allah tidak merubah keadaan kita sampai kita memperbaiki diri. Tanpa bermaksud meremehkan, tulisan ini dibuat untuk perbaikan TPA yang  telah banyak berjasa dan kita cintai bersama. Wallahu a'lam. (Anas Burhanuddin, MA)

read more

Tujuan dan Prinsip Pendidikan TK

0 komentar
Lembaga Taman Kanak-kanak (TK), meskipun sebagai lembaga pendidikan formal, sangat berbeda dengan lembaga pendikan SD, SMP, dan seterusnya. Dari nama lembaganya, yakni “taman” bukan “sekolah”. Sebutan “Taman” pada Taman Kanak-kanak mengandung makna “tempat yang aman dan nyaman (safe and comfortable) untuk bermain” sehingga pelaksanaan pendidikan di TK harus mampu menciptakan lingkungan bermain yang aman dan nyaman sebagai wahana tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan tahap tumbuh kembang anak didik, kesesuaian dan keamanan alat dan sarana bermain, serta metode yang digunakan dengan mempertimbangkan waktu, tempat, serta teman bermain.
Jenjang Pendidikan TK
Anak yang dapat ditampung di TK adalah usia 4 – 6 tahun dengan lama Pendidikan 1 atau 2 tahun. Dan,  pendidikan dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok A bagi anak usia 4 – 5 tahun dan kelompok B untuk anak usia 5 – 6 tahun. Pengelompokan ini bukan merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap anak didik. Dengan kata lain, bahwa setiap anak didik dapat berada selama 1 (satu) tahun pada Kelompok A atau Kelompok B, atau selama 2 (dua) tahun pada Kelompok A dan Kelompok B.
Tujuan Pendidikan TK
a.  Membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Pasal  1.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003);
b.  Mengembangkan kepribadian dan  potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003);
c.  Membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1990).
Prinsip Pendidikan TK
Berdasarkan Surat Edaran Mandikdasmen Depdiknas Nomor 1839/C.C2/TU/2009, Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip:  ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Bermain merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi anak didik. Sebelum bersekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri.
Melalui pendekatan bermain, anak-anak dapat mengembangkan aspek psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni. Pada prinsipnya bermain mengandung makna yang menyenangkan, mengasikkan, tanpa ada paksaan dari luar diri anak, dan lebih mementingkan proses mengeksplorasi potensi diri daripada hasil akhir. Pendekatan bermain sebagai metode pembelajaran di TK hendaknya disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik, yaitu secara berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih dominan) menjadi belajar seraya bermain (unsur belajar mulai dominan). Dengan demikian anak didik tidak merasa canggung menghadapi pendekatan pembelajaran pada jenjang pendidikan selanjutnya;
Larangan
Anak TK, sesuai dengan kondisi perkembangan dan pertumbuhannya, tidak  boleh diberi pekerjaan rumah (PR). Dan, saat tamat pendidikan jenjang terakhir (kelompok B) tidak boleh diadakan kegiatan seremonial yang tak sesuai dengan prinsip pendidikan TK.
Pada usia 4 s.d 6 tahun, kebutuhan anak untuk bermain dan bersosialisasi lebih penting dibandingkan dengan kemampuan skolastik. Oleh karena itu, pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.
Perpisahan TK seyogianya  dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi tumbuh kembang anak. Perpisahan hendaknya dimanfaatkan sebagai media silaturahmi antara anak didik, guru, orang tua dan masyarakat.  Perpisahan bukan untuk meningkatkan prestise TK maupun orang tua. Oleh karena itu kegiatan  seremonial seperti wisuda dengan menggunakan toga tidak perlu dilakukan.
Bagi yayasan penyelenggara pendidikan TK, guru, dan pihak yang terkait dengan pendidikan TK sebaiknya  memahami Petunjuk Penyelenggaraan Pendidikan TK  yang secara lengkap terdapat pada  SE Dirjen Mandikdasmen Nomor 1839/C.C2/TU/2009; tanggal 23 April 2009.
Semoga artikel sederhana ini bermanfaat dalam upaya pembinaan dan peningkatan penyelenggaran pendidikan TK. Harapannya, pendidikan TK benar-benar berfungsi sebagai “taman”  yang menyenangkan dan  ceria yang memberi dan mengarahkan pribadi anak baik psikologis, sosial, kecerdasan, dan keterampilan.

read more

Minggu, 09 Oktober 2011

Minggu, 09 Oktober 2011
0 komentar

Cara Tips Mengecilkan Perut


cara mengecilkan perut buncit
perut buncit

Anda telah mencoba berbagai cara  mengecilkan perut buncit? simaklah tips mengecilkan perut berikut ini:

Perut bukan organ yang berukuran besar tetapi memiliki kemampuan untuk meregangkan dan menyusut sesuai dengan jumlah makanan yang dimakan saat itu. Jika Anda konsisten mengkonsumsi makanan dalam porsi besar, perut Anda secara bertahap akan terus meregang dan  Anda akan membutuhkan semakin banyak makanan untuk membuatnya merasa kenyang. Cara mengecilkan perut yang dapat dicoba adalah Anda harus tetap makan 3X sehari dengan porsi kecil. Anda tetap memerlukan makan untuk menjaga  agar metabolisme tidak melambat karena anda mengurangi asupan makanan secara drastis. Dengan mengurangi prosi makan secara berlebihan makan tips tips mengecilkan perut yang ada di bawah ini tidak akan berhasil maksimal

Tips Cara mengecilkan perut buncit dengan pola makan

Berikut ini cara cara yang dapat Anda lakukan untuk mengecilkan perut:
Advertisement
  • Makan sarapan sekitar 200 kalori. Hal ini dapat terdiri dari sepotong roti panggang dengan sedikit selai, satu butir telur dadar dan setengah gelas susu.
  • Makan makanan ringan yang menyehatkan, buah buahan segarserat yang ada pada buah buahan segar akan membikin Anda lebih lama kenyang.
  • Makan siang sekitar 400 kalori. kira kira seukuran setengah dari rata rata porsi orang orang indonesia ketika makan siang.
  • Jika setelah 2 atau 3 jam dari makan siang tersebut Anda sudah merasa lapar kembali maka silakan anda ambil buah buahan segar sebagai snack Anda.
  • Makan malam cukup 400 kalori saja. Ini biasanya makanan yang paling sulit untuk menjaga 400 kalori, terutama jika Anda makan diluar, segera ingatlah anda sedang mencoba cara mengecilkan perut buncit.
Seharusnya jika Anda telah mencoba pola makan yang diajarkan diatas sejak di pagi hari maka Anda tidak akan mudah lapar di siang harinya. Jika Anda merasa kesulitan dengan mengatur pola makan tidak ada salahnya anda milirik program diet nutrisi yang menyederhanakan pengaturan pola makan, terutama bagi Anda dengan waktu yang terbatas .
Selain pengaturan pola makan, mengecilkan perut buncit juga dibantu dengan olahraga, lakukan olahraga yang sifatnya kardio. Olahraga kardio (disebut juga exercise cardiovasculer) sangat efektif dalam membakar kalori, karena ketika tubuh anda membakar kalori secara otomatis lemak lemak dalam tubuh akan berkurang, salah satu tempat favorit menimbun lemak adalah di perut. lakukanlahexercise sebagai cara mengecilkan perut buncit Anda.
Ketika Anda telah mengatur pola makan, kemudian Anda telah melakukan exercise, masih ada yang perlu Anda perhatikan untuk mengecilkan perut buncit. Perhatikan kebiasaan kebiasaan yang tanpa Anda sadari ikut menyumbang munculnya perut buncit, jadi perhatikan kebiasaan tersebut sebagai salah satu cara mengecilkan perut.

Cara mengecilkan perut buncit dengan tidak melakukan kebiasaan kebiasaan buruk

Selain menjalankan tips tips mengecilkan perut buncit, Anda akan memperoleh hasil yang maksimal apabila anda juga menghindari kebiasaan kebiasaan yang kontra produktif dengan program mengecilkan perut buncit.  Simaklah apa saja yang harus dihindari demi kesuksesan program Anda
  • Hindari melewatkan makan, jadi Anda harus makan minimal 3x sehari, tapi tentu saja dengan kalori rendah tapi penuh dengan nutrisi.
  • Hindari minum minuman beralkohol, jika Anda kesulitan, kurangin konsumi minuman beralkohol Anda
  • Jangan diet dengan berpantang mengkonsumsi protein.
  • Jangan makan (makan malam ataupun makanan ringan) kurang dari 3 jam sebelum anda tidur, jadi jika jam tidur anda adalah jam 22, maka makan makan anda maksimal adalah jam 19.
  • Tidur yang cukup,kurang tidur termasuk kebiasaan yang bertentangan dengan tips mengecilkan perut , tiap hari orang dewasa memerlukan waktu 6-7 jam tidur untuk beristirahat setelah seharian beraktifitas.
Selamat mencoba, semoga berhasil menjalankan tips cara mengecilkan perut buncit, selamat tinggal perut buncit.

read more
Close
-->